Jakarta — 12 Oktober 2025
Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, menjadi saksi bisu berakhirnya perjalanan panjang Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Satu gol tunggal dari pemain Irak, Zidane Iqbal, di menit ke-78 membuat Garuda harus menelan kenyataan pahit — impian menembus Piala Dunia kembali tertunda.
Bagi sebagian besar suporter, kekalahan ini bukan sekadar angka di papan skor. Ia adalah potret rapuhnya fondasi sepak bola Indonesia yang terus berulang: semangat tinggi, harapan besar, tapi gagal di momentum krusial.
Tanggapan Erick Thohir: “Kami Gagal, Tapi Tidak Menyerah”

Beberapa jam setelah peluit panjang berbunyi, Erick Thohir, Ketua Umum PSSI, muncul dalam konferensi pers yang digelar mendadak.
Wajahnya terlihat tegang, namun ucapannya tenang dan penuh tanggung jawab.
“Kami mohon maaf karena mimpi tampil di Piala Dunia belum bisa terwujud. Tapi anak-anak sudah memberikan segalanya. Ini bukan akhir, ini fondasi menuju masa depan yang lebih kuat,”
— ujar Erick Thohir dikutip dari CNN Indonesia.
Ucapan itu sekaligus menegaskan dua hal: pengakuan kegagalan, dan komitmen untuk tidak mundur dari jalur reformasi sepak bola yang ia mulai sejak 2023.
Dalam laporannya, berita terkini juga menulis bahwa Erick menilai “pencapaian Indonesia yang mampu menembus babak keempat kualifikasi adalah langkah historis yang patut diapresiasi,” namun ia tidak menutup mata atas kekurangan yang masih harus diperbaiki.
Namun di balik permintaan maaf dan nada optimistis itu, publik masih bertanya-tanya: apakah janji perubahan ini benar-benar bisa diwujudkan?
Analisis Kekalahan: Dari Laga yang Menentukan Hingga Evaluasi Total
Secara teknis, laga kontra Irak memperlihatkan beberapa celah krusial dalam permainan Timnas Indonesia.
Kadang dalam sepak bola, faktor keberuntungan juga ikut bermain — seperti halnya slot gacor hari ini yang tak selalu bisa ditebak hasilnya, performa tim juga naik turun tergantung kesiapan dan fokus pemain di lapangan.
Menurut data resmi FIFA, penguasaan bola Indonesia hanya 36%, dengan satu peluang emas dari sepuluh tembakan.
Irak unggul dalam efisiensi serangan dan kontrol ruang.
Pelatih Patrick Kluivert mengakui bahwa anak asuhnya “kehilangan fokus di momen penting”.

Namun masalah Indonesia tak berhenti di lapangan.
Banyak analis menilai ini sebagai refleksi dari sistem sepak bola nasional yang belum matang: ketergantungan pada talenta individu tanpa pondasi pembinaan jangka panjang.
Kritik Publik: “Maaf Tidak Cukup”
Di media sosial, reaksi suporter pecah menjadi dua kutub besar.
Sebagian masih memberi dukungan dan memuji usaha keras para pemain muda seperti Marselino Ferdinan dan Rafael Struick.
Namun sebagian lain melontarkan kritik tajam kepada PSSI dan Erick Thohir.
“Maaf tidak cukup kalau sistemnya masih begini-begini saja,” tulis salah satu akun di X (Twitter).
Beberapa suporter juga menuntut transparansi atas rencana reformasi dan evaluasi pelatih.
Media besar dari BeritaSatu bahkan menyoroti bahwa “Erick Thohir diamuk netizen” setelah konferensi pers karena dinilai terlalu banyak menyampaikan janji tanpa peta jalan konkret
Meski begitu, ada juga yang menilai kritik ini sebagai bentuk cinta publik. “Kalau suporter diam, justru itu bahaya. Artinya mereka sudah menyerah,” ujar pengamat sepak bola nasional, Akmal Marhali.
Erick Thohir di Bawah Tekanan
Sebagai sosok publik dengan banyak jabatan — dari Menteri BUMN hingga Ketua Umum PSSI — Erick Thohir kerap berada di tengah badai ekspektasi.
Ia disebut sebagai figur reformis, tapi juga sering dikritik karena dianggap terlalu politis.

Dalam wawancara eksklusif dengan CNN Indonesia beberapa waktu lalu, Erick mengaku bahwa perubahan sepak bola nasional “tidak bisa instan, tapi harus sistematis.”
Ia mengutip contoh Jepang dan Korea Selatan yang butuh waktu 20–30 tahun untuk mencapai stabilitas sepak bola modern.
Namun tantangan Erick jauh lebih besar: Indonesia bukan hanya butuh reformasi manajemen, tapi juga transformasi mental — dari suporter hingga pemain.
Pelajaran Mental dari Kegagalan
Psikolog olahraga, Dr. Endah Kartika, dalam wawancaranya dengan Suara.com, menjelaskan bahwa kekalahan seperti ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat resilience nasional.
Menurutnya, federasi harus belajar berpikir seperti pemimpin korporasi yang strategis dan tahan tekanan.
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel “Berpikir Seperti CEO: Strategi Mental Sukses”,
setiap kegagalan harus dianalisis seperti laporan keuangan: jujur melihat kelemahan, lalu membangun strategi baru berdasarkan data.
“Erick Thohir bukan hanya Ketua PSSI, tapi CEO dari organisasi dengan jutaan stakeholder. Dan CEO sejati tahu, kegagalan adalah bagian dari investasi,” tulis artikel itu.
Mengapa Indonesia Masih Tertinggal di Asia?
Kegagalan ini menyoroti kembali jurang besar antara ambisi dan kesiapan.
Berikut beberapa faktor utama:
- Pembinaan Usia Muda Belum Terpadu
Akademi sepak bola di Indonesia berkembang pesat, tapi belum terhubung secara sistem nasional.
Tidak ada jalur karier jelas dari usia 14 ke tim senior. - Kualitas Liga Domestik
Kompetisi Liga 1 belum mampu menjadi “mesin pembentuk pemain nasional”. Jadwal yang sering berubah dan masalah finansial klub masih menghantui. - Sarana dan Infrastruktur Latihan
Banyak stadion belum memenuhi standar AFC dan FIFA. Bahkan tim nasional sering kesulitan mendapatkan lapangan latihan berkualitas. - Keterbatasan Pelatih Lokal Bersertifikat Internasional
Dari lebih dari 400 pelatih di Indonesia, hanya sebagian kecil yang memiliki lisensi AFC Pro. - Mental Bertanding
Artikel di media sosial menulis bahwa “resilience adalah kekuatan untuk bangkit setelah jatuh — bahan bakar utama untuk sukses jangka panjang.”
Prinsip yang seharusnya menjadi pondasi filosofi pembinaan Timnas.
Reaksi Pemain dan Publik
Usai pertandingan, sejumlah pemain mengunggah pesan emosional di media sosial.
Marselino Ferdinan menulis di Instagram:
“Kami gagal, tapi kami belum selesai. Terima kasih Indonesia, ini bukan akhir.”
Sementara itu, pelatih Patrick Kluivert mengatakan kepada media bahwa kekalahan ini “menjadi tanggung jawab bersama.”
Ia berjanji tetap melanjutkan proyek pembinaan jangka panjang hingga 2027.
Publik pun menaruh harapan agar Erick Thohir tidak mengambil keputusan reaktif seperti pergantian pelatih, yang selama ini menjadi kebiasaan lama di PSSI.
Harapan Baru Setelah Kekalahan
Kegagalan ini seharusnya menjadi wake-up call.
Dalam artikel “Rasa Takut Gagal saat Belajar Hal Baru”, dijelaskan bahwa rasa takut gagal justru bisa menjadi kekuatan jika diolah menjadi motivasi untuk berbenah.
Begitu juga dalam sepak bola: Indonesia tidak boleh terjebak pada rasa kecewa.
Langkah konkret yang kini dirancang PSSI di bawah Erick Thohir antara lain:
- Membentuk Komite Evaluasi Kompetisi,
- Meluncurkan Pusat Latihan Nasional di IKN,
- Serta menjalin kerja sama dengan federasi Eropa untuk pengiriman pemain muda ke luar negeri.
Langkah-langkah ini diharapkan menjadi fondasi agar Timnas tidak hanya berjuang di Asia Tenggara, tapi juga menembus peta sepak bola dunia.
Penutup: Dari Kekalahan ke Kebangkitan
Kekalahan dari Irak memang menutup jalan menuju Piala Dunia 2026. Tapi bukan berarti menutup masa depan.
Dalam perspektif jurnalis, momen ini justru menjadi “bab pertama dari buku kebangkitan” — jika PSSI benar-benar menepati janji reformasinya.
Erick Thohir kini berada di persimpangan sejarah:
Antara menjadi simbol perubahan, atau sekadar nama lain dalam daftar panjang kegagalan federasi.
Namun seperti kata pepatah lama di sepak bola:
“Tim besar bukan yang tak pernah kalah, tapi yang tahu bagaimana belajar dari kekalahan.”
Jika Indonesia mampu menjadikan luka ini sebagai guru, maka kegagalan di Jeddah bukanlah akhir — melainkan titik balik menuju masa depan yang lebih dewasa.